Kisah Kesehatan Mental

by - Agustus 02, 2019

Di usia yang kini genap 24 tahun, saya masih merasa gampang terpancing emosi. Yaa sebenarnya sih wajar-wajar aja di semua jenjang usia. Namun yang cukup mengherankan adalah saya sampai dengan detik ini masih gampang terpancing emosi yang berkaitan dengan keluarga, padahal saya sudah melalui ujian keluarga ini hampir 10 tahun. Belum genap 10 tahun sih but let's say so! Intinya sampai dengan detik ini saya masih suka ke-trigger sama hal-hal yang berbau keluarga. As you have known, my parents got divorce when i was 15. It was so terrible thing. Saya masih ingat ketika saya sering diam-diam menangis sebelum tidur, memikirkan betapa mengerikannya situasi keluarga saya pada saat itu. Setiap hari saya berpura-pura biasa seakan tak pernah terjadi kesedihan-kesedihan di rumah, semua itu saya lakukan agar ibu tetap tegar sebab saya tahu i had to be strong for myself. Dan sampai dengan sejauh ini, saya sudah bisa melanjutkan hidup dan move on dari ujian tersebut. And then, why is that family thingy always caught me in cry and so lost?




***
(Source: Pinterest)



Ke-trigger masuk sampe hati gitu. Saya juga masih nggak tahu dan nggak paham. Kadang saya mikir, mungkin saya masih belum bener-bener bisa mengikhlaskan tragedi keluarga yang saya alami, mungkin saya masih belum bener-bener menerima kekurangan yang ada di diri saya juga keluarga. Nggak tahu, nggak paham.


Hingga pada suatu titik dimana saat saya merasa gelisah dan sedih berlarut-larut, saya mulai berpikir untuk...... mengakhiri hidup. Suicidal thoughts. Nggak sekali atau dua kali saya berpikir demikian. Sering kali. Hampir setiap kali mengalami trigger karena keluarga. Kaget? Sama. Saya juga baru ngeh baru sadar setelah emosi saya mereda. Wait a sec! Saya ngga niat bunuh diri beneran macem menyat pergelangan tangan dengan pisau atau benda tajam lain yang bisa melukai, atau macem gantung diri di kamar mandi, atau menabrakan diri ke kereta api yang berjalan di rel. Nggak, saya nggak punya pikiran begitu. I'm just gonna let myself die with its own way. Karena saya punya 'sesuatu' dalam badan saya, i guess i'll use it. Please, jangan berpikir yang nggak-nggak tentang saya. Itu hanyalah sekelebat pikiran yang kadang terlintas di kepala ketika saya udah kelewat sedih kelewat terpuruk. Ngeri? Sama, saya juga ngerasa ngeri sendiri. Cukup merasa takut dengan kenyataan bahwa saya punya pikiran kayak gitu setiap kali gelisah dan ngerasa sedih.


Kalau sedang sedih, gelisah, merasa sendirian, merasa nggak dibutuhkan, nggak disayang, nggak dipeduliin, nggak dihargain, nggak didengarkan, dan nggak-nggak lain yang negatif, saya cuma bisa nangis. Ingin menyalahkan keadaan tapi saya sadar betul kalau saya nggak punya kuasa apa-apa buat memutar waktu dan mengulang semuanya untuk mencegah apapun itu. Hingga berakhir menyalahkan diri sendiri. Kadang tak cukup sampai disitu, saya sering merasa harus menyelamatkan diri saya dari apa yang membuat saya sedih dan nggak bahagia. Kabur alias lari sejauh mungkin dari kenyataan dari situasi, meninggalkan semuanya dan ingin memulai hidup baru. Sebab dengan melarikan diri dari sini dari hal-hal yang nggak membuat saya bahagia adalah salah satu cara untuk menyelamatkan diri. Entah karena saya terlalu egois, atau saya nggak bertanggung jawab hingga lari dari kenyataan, atau memang saya berhak menyayangi diri saya sendiri seutuhnya bagaimanapun caranya. Saya nggak tahu. Saya juga nggak jarang malas pulang ke rumah just because i don't feel safe, i don't feel belong there, i don't feel that comfort. Sering kali merasa nggak nyaman di rumah sendiri, atau mungkin lebih tepatnya karena penghuni rumahnya. Entahlah..


Saya juga kerap kali nggak hadir dalam acara keluarga besar. Saya merasa nggak nyaman dan sangat skeptis akan mereka. Merasa nggak seharusnya sama berada di tengah-tengah mereka, merasa nggak nyaman, merasa nggak penting. Saya lebih suka menyendiri dalam kamar, berdiam diri disana hingga acara keluarga selesai dan semua pulang, atau didapur menjadi tukang masak sekaligus dish washer untuk mereka semua (keluarga). Alhasil saya dianggap manusia yang anti-sosial, tertutup dalam keluarga, manusia yang memiliki kehidupannya sendiri yang nggak ingin seseorang pun masuk ke dalamnya, judes/jutek sampe ke akar-akarnya. Intinya, saya nggak suka perkumpulan keluarga. Sebab terkadang saya merasa mereka nggak benar-benar peduli, untuk apa saya repot-repot berada di sekitar mereka hingga dilempar pertanyaan-pertanyaan yang nggak jarang menyinggung hati. For your information, saya nggak suka basa basi busuk.


Setelah saya menyadari kebiasaan-kebiasaan berbahaya yang saya punya seperti 'suicidal thoughts' dan menghindari keluarga sendiri, saya sempat berpikir “apakah ini saatnya saya butuh bantuan profesional?”. Jujur saja, saya terlalu takut untuk datang dan berkonsultasi ke tenaga profesional yang memiliki kemampuan untuk menganalisa secara psikologis meski saya sendiri penasaran banget pengen tahu saya kenapa. Saya yang selalu ke-trigger dengan permasalahan keluarga yang kerap datang (masalah kecil sekalipun), yang selalu punya pikiran untuk melarikan diri dari rumah dan pergi jauh dari keluarga siapapun, yang sering punya suicidal thoughts ketika kesedihan semakin larut dan berat, yang belum bener-bener ikhlas menerima kenyataan dan kekurangan yang ada. Saya nggak ngerti sama diri saya sendiri.


Saya pernah bertanya ke seorang sahabat, apakah saya perlu mendatangi psikolog atau semacamnya untuk tahu adakah yang salah dari diri dan cara berpikir saya ini. Ia nggak meng-iya-kan atau meng-nggak-an. Ia hanya memberi beberapa advice untuk saya cerna dan pikir lagi baik-baik. And then i asked to my boyfriend, he was like, “are you sure about this?”. Ia mengijinkan bila saya benar-benar merasa membutuhkannya. It was quite hard decision. Dan akhirnya sampai dengan detik postingan ini diterbitkan saya belum membuat keputusan apapun. Saya tahu berkunjung dan berkonsultasi dengan psikolog bukan suatu yang mengerikan, saya pun nggak pernah menganggap orang-orang yang datang ke psikolog sebagai orang-orang gila atau aneh yang mentalnya rusak. Saya hanya masih belum yakin dengan diri saya sendiri. Hanya itu.


Mungkin sebagian orang berpikir, "ahh masalah gitu doang sampe ke psikolog segala! lebay ah.". Hehehe. Iya nggak apa-apa, saya memang orangnya lebay banget. Kalo udah sedih suka drama dan overthinking. But you don't even know how hurt it is. You know a little. You couldn't feel it, even a bit. Jadi saya nggak khawatir dengan apa yang dikatakan orang lain, saya juga nggak peduli. Tapi saya harap juga nggak ada apa-apa yang terjadi di kepala saya, and there's nothing wrong with that.


Jadi, kira-kira apakah saya perlu buat pergi ke psikolog? 











You May Also Like

0 komentar