Kotak Surat
Kotak surat di depan rumahku berteriak setiap hari. Berharap sepucuk surat darimu datang, amplop berwarna merah muda dan berpita putih. Selau amplop seperti itu.
Aku begitu ingat ketika surat pertama darimu datang menhampiri kotak suratku yang kosong melompong.
Surat pertama yang berisi permintaan maaf. Hanya tertera kata maaf disana; puluhan atau bahkan ratusan kata maaf yang kau tulis. Keningku berkerut sejenak. Mengapa kata maaf? Hanya kata maaf? Tidakkah ia merindukanku?
Jauh aku berharap, ia mengucapkan sejuta kata rindu dibanding mengucapkan ratusan kata maaf.
Beberapa hari setelahnya, aku menerima surat kedua darinya. Surat kedua yang berisi kalimat panjang-kali-lebar mengenai perjalanan kami berdua, sejak dahulu hingga kini.
Ia bercerita pertama kali kami bertemu. Otakku seakan berputar mencari rekaman masa lalu saat itu dan memutarnya ulang dalam kepalaku.
Saat itu aku berlari seperti anak kecil yang sedang mengejar kupu-kupu di suatu senja. Ia berseru memanggil namaku seraya melambaikan tangannya dan memamerkan senyumnya yang menawan. Lalu, mata kami bertemu.
Di suatu senja mata kami bertemu. Refleks, aku mengembangkan senyum sambil berlari ke tempatnya.
Lalu, kami saling berbincang. Lalu, kami tertawa bersama. Lalu, hidungku menangkap aroma ketulusan dari dirinya.
Beberapa seminggu kemudian aku menerima surat ketiga darinya. Surat ketiga yang berisi betapa bodohnya dia saat masih bersamaku. Ia berharap waktu bisa ia putar untuk kembali bersamaku dan membuat serta memperbaiki semuanya.
Aku baru menyadari bahwa jalan yang kupilih saat itu adalah kesalahan besar. Aku terlalu gegabah. Aku tidak memikirkan perasaanmu. Aku juga tidak memikirkan bagaimana bila aku menjadi dirimu.
Seharusnya malam itu aku bergegas pergi kepadamu dan memohon maaf. Namun, aku malah pergi ke bar untuk minum beberapa gelas vodka hingga mabuk. Tentu saja kau tahu aku pergi bersama seorang gadis yang kau sebut sebagai 'perusak' diantara kita.
Aku menyesal. Sungguh aku menyesal.
Kurang-lebihnya begitulah yang ia ungkapkan dalam surat ketiga. Ya. Memoriku kembali memutar ulang rekaman malam itu, dimana aku melihatnya keluar dari sebuah kamar hotel sambil bermesraan tanpa memperdulikanku. Nyaris amarahku membabi buta saat itu jika saja sahabatku tidak menahan amarahku yang sudah di ujung tanduk.
Beberapa hari setelahnya aku menerima surat keempat darinya. Surat keempat yang berisi harapannya untukku. Aku tidak tahu harus senang atau sedih saat membaca surat tersebut. Di satu sisi aku masih mengharapkannya menemaniku duduk minum teh seperti biasa di kedai teh di pusat kota. Namun di sisi lain aku membencinya yang telah menusuk-nusukan ribuan jarum tajam hingga menganhancurkan semuanya; asaku bersamanya, harapanku, impianku, bahkan seluruh hatiku. Saat itu rasanya seperti hidup enggan mati pun tak mau.
Aku berharap dan selalu berharap agar kau menjadi lebih kuat dariku. Kau harus menjadi wanitaku yang kuat. Kau harus lebih baik dariku. Dan kau harus mandiri.
Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah. Kau akan ditemani orang lain selain aku untuk mampir ke kedai teh atau kopi favoritmu dan kau akan duduk berdua dengannya; lalu kembali merangkai mimpimu bersamanya, sama seperti bersamaku dulu. Kau akan menerima kiriman bunga mawar dari seorang pria lain yang menyayangimu dengan sepenuh hatinya. Kau akan lebih nyaman bersama pria itu dibanding bersamaku. Akan ada waktunya dimana kau akan merasakan benar-benar hidup, lebih hidup dibandingkan bersamaku. Jadilah wanita hebat, wanita yang dapat kubanggakan kelak.
Ya. Aku bisa merasakan getir harapan tulusnya melalui setiap kata yang ia tulis melalui tinta. Kali ini aku benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun aku merasa ada sisi terang dihatiku. Entah itu pertanda apa.
Surat keempat adalah surat terakhirnya, dikirim bersama seikat bunga mawar yang kuterima. Setelahnya, aku tidak pernah lagi menerima surat darinya. Kotak suratku pun semakin berteriak memanggil namanya.
Kini aku mengerti bahwa ia tak akan kembali. Tak akan pernah.
0 komentar