Bukan Kehilangan Yang Baik Pun Buruk
Sebelum kita mengenal cinta, mungkin hal yang paling kita takutkan saat kecil adalah kehilangan mainan atau makanan kesukaan kita. Misal, mainan kita diambil sama orang lain atau makanan favorit kita tak sengaja terjatuh ke trotoar jalan yang kotor. Mungkin saat kecil kita hanya bisa merengek pada orang tua kemudian mereka akan memeluk kita dan berkata, "Sudah, jangan menangis. Nanti kita beli lagi mainan/makanannya." Sesimpel kalimat itu mungkin sebagian besar dari kita percaya dan berhenti menangis/merengek.
Bagaimana dengan kehilangan seseorang setelah kita dewasa?
*
(Source: Google Images) |
Klasik kalau saat ini saya membahas tentang kehilangan seseorang. Katakanlah saya terlalu sok tahu tentang kehilangan seseorang. Saya memang orang yang sok tahu dan ingin tahu pada saat bersamaan. But yeah we go back to reality, setiap dari kita pasti pernah merasa kehilangan seseorang ketika dewasa. Kehilangan pada saat usia dewasa adalah hal kompleks, tak pernah sesederhana saat kita masih seorang bocah ingusan. Otak kita telah berkembang sempurna untuk menyaring hal-hal apa saja yang bisa masuk ke dalamnya pun hati kita juga bisa merasa lebih peka dan lebih dalam dari hanya sekedar menangis.
Mata dan hati kita selalu melihat sisi buruk dari kehilangan. Apakah semua kehilangan adalah hal buruk? Apakah semua kehilangan akan berdampak buruk bagi kehidupan kita kedepannya? We can't even said that.
*
The most horrible losing of my entire life is when my dad's leaving. I was doing fine. I didn't cry over him. Saat itu saya harus tetap seperti biasa; baik-baik saja. Did I sad? Yes.
We used to be that close.
Saya tak berpikir macam-macam saat itu. Saya hanya diminta olehnya untuk belajar dan selesaikan pendidikan dengan baik. And my mom was begging me to be good kid. Hanya sesimpel itu permintaan mereka.
Saya pernah bilang, "rumah adalah dimanapun kamu berada disaat orang-orang yang kamu cintai berada disaana." But I didn't feel that way.
Saat itu yang saya tahu hanya suara tangisan Mama setiap malam dalam tidurnya. Dan saya mendapati diri saya saat itu hanya seorang bocah yang tak pantas berkata sok dewasa (my family often call me that) mengingat saya tak mengerti apa yang dirasakan orang dewasa saat kehilangan seseorang yang mereka cintai dalam hidupnya.
Hingga saat ini di usia saya yang ke-22, saya rasa saya cukup mengerti bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang amat dicintai dengan sebenar-benarnya.
She said, "Family is the most important thing in our life. Keep holding them in your hand and heart."
Mungkin kita baru menyadari hal itu penting saat kita telah kehilangannya, mungkin kita tak akan pernah benar-benar merasakannya jika kita belum memiliki kisah kehilangan kita sendiri.
Beliau memiliki kisah kehilangannya.
Dahulu tak jarang saya berdoa pada Tuhan agar Dia mengembalikkan apa yang telah hilang dari diri Mama, dari kisahnya. Dahulu saya berdoa agar wanita itu diberi ketabahan dan kekuatan hati yang maha dahsyat dari Sang Pemilik Hidup. Karena disini ada saya, seorang bocah yang baru saja mengalami masa MOS putih-abu. Karena disini ada saya, seorang anak perempuan satu-satunya yang ingin memahami rasanya kehilangan seseorang dengan sebenar-benarnya meski orang tersebut bukanlah belahan jiwa saya. Karena saya bertahan dengan baik-baik saja agar dapat membuatnya tetap tegar. Hanya itu. Sesederhana itu.
Hingga 7 tahun berlalu, rasa kehilangan akannya sudah tak pernah lagi mengganggu saya. Sudah 7 tahun terlewati, sudah bukan saatnya saya ataupun Mama meratapi kepergiannya, masa itu sudah kami lewati. Siapa sangka 7 tahun setelah kehilangan itu kami masih baik-baik saja dan masih bisa berbahagia.
Tuhan mengabulkan doa-doa kami.
*
Kalau ada yang bilang kehilangan akan berdampak buruk berkepanjangan, well, saya tak bisa menolak. Sometimes it's true. Saya menjadi pribadi yang lebih trauma pada kehilangan. Saya menjadi anak yang terkadang iri melihat orang tua teman saya yang harmonis hingga tua. Saya menjadi anak yang pencemburu.
Kehilangan akan selalu buruk pada awalnya. Namun, siapa sangka kita bisa menjadi lebih baik karenanya? I prove that. Saya bisa hidup mandiri dan tak ketergantungan karenanya. Saya biasa menulis karenanya. Saya bisa menjadi sekuat ini karenanya. Saya bisa bekerja keras karenanya. Saya bisa menjadi lebih taat dalam beribadah. Dan saya menjadi pribadi yang lebih mengutamakan loyalitas dalam segala hal.
Saat Tuhan itu menciptakan sesuatu pasti seimbang, Dia tak pernah bimbang. Akan selalu ada hitam diantara putih, akan selalu ada cerah diantara mendung. Itulah hidup yang diciptakanNya.
Saat Tuhan menciptakan suatu penyakit, Ia pasti sudah menyiapkan penawarnya.
Saat Tuhan menciptakan kehilangan, Ia pasti sudah menyiapkan hal buruk dan baiknya; sepaket dan tak pernah terpisah. Hanya saja kita sebagai manusia harus lebih teliti dalam melihat dan merasa, serta berpikir.
Saya tak mengatakan kehilangan sesuatu yang amat kita cintai itu mudah dan selalu dampak positif. Tidak. Saya pun pernah merasa kehilangan; anggota keluarga serta orang-orang yang saya cintai.
Rasa kehilangan kelak akan menjauh seiring berjalannya waktu, meski tak benar-benar lenyap. Sakitnya akan pulih seiring waktu, meski bekasnya akan tetap disana.
Meski tak semua kehilangan adalah kehilangan yang buruk, namun saya ingin tetap disini bersama orang-orang yang saya cintai dan masih tetap merasa takut akan kehilangan. Dan mungkin, saya tak akan pernah ingin ada kehilangan walau pahitnya kehilangan adalah hal mutlak yang pasti terjadi, cepat atau lambat.
Best Regards,
nrlhdyn
0 komentar