Cerita Bianglala 1

by - Februari 12, 2018

Pasar Malam.

Dulu saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) saya tinggal di sebuah rumah dinas kantor bersama kedua orang tua serta kakak laki-laki. Rumah itu letaknya di pinggir jalan besar—jalan utama—yang mana setiap saat tak pernah sepi, selalu ada kendaraan-kendaraan lewat, mulai dari mobil pribadi, mobil angkot, motor, becak, truk, hingga truk gandeng. Pokoknya selalu ramai.

(Source: Instagram)

Di belakang rumah ada sebuah lapangan bola yang cukup luas dan biasanya digunakan anak-anak dan warga desa untuk bersantai-santai (main sepak bola, main voli, dan kegiatan-kegiatan lainnya). Hingga pada suatu malam, di lapangan tersebut digelar Pasar Malam yang lengkap dengan korsel-korsel dan permainan lainnya untuk anak-anak.


Kakak dan saya mengajak Ibu untuk mengantar kami ke Pasar Malam, tentunya untuk ikut bermain di arena permainan di sana. Saat itu saya bahagia. Melihat lampu warna warni kelap kelip dari alat-alat korsel, para penjual harum manis—permen kapas—yang sedang sibuk membuat racikannya untuk anak-anak yang mengantre. Ah, saya suka permen kapas! Warna merah muda dan putih. Rasanya pasti manis. Air liur membayangkan manisnya permen kapas saya simpan dibalik lidah dan menunduk lesu.

Ya, saya tak pernah benar-benar berani meminta sesuatu pada Ibu. Entahlah. Mungkin saya terlalu takut. Atau mungkin karena saya memang tak terlalu menginginkannya seperti anak-anak lain.

Kakak menunjuk suatu permainan yang bila saya lihat saat ini (sampai dengan sekarang) cukup ekstrem untuk dimainkan oleh seorang bocah. Ombak Banyu. Berbentuk sebuah lingkaran yang diatasnya terdapat kain penutup yang runcing di tengahnya (mirip seperti gasing). Cara kerjanya pun mirip seperti gasing, ia akan berputar-putar yang diputar oleh sekelompok orang sementara para penumpang yang menikmati permainan duduk di kursi pada sisi lingkaran. Banyak dari para penumpang berteriak saat lingkaran berputar dan naik turun, terutama saat putarannya bertambah kecepatan. Mereka menamainya Ombak Banyu karena sensasi saat menaikinya akan terasa seperti kamu tengah berada di sebuah sampan kecil di tengah lautan ketika ombak tengah menyambarmu. Oleh karenanya lingkaran tersebut di ibaratkan seperti sampan dan ia akan berputar-putar memberi sensasi terkena ombak.

Oh, no! Tentu saja saya tak akan naik permainan itu. Saya bisa terlempar kesana kemari. Tentu saja tidak. Membayangkannya saya berada di sisi lingkaran dan berputar-putar saja sudah membuat saya merinding. Namun Kakak tetap ingin menaiki wahana tersebut. Akhirnya Ibu mengabulkannya. Kakak berlari ke putaran sendirian sementara saya dan Ibu berada di pinggir arena permainan itu.

Lingkaran berputar dan Kakak terlihat sumringah dan bahagia saat permainan bekerja; berputar-putar dengan gerakan naik-turun. Gembira khas seorang bocah yang mencintai permainannya. Saya dan Ibu hanya berteriak, "Hati-hati! Pegangan!".

Setelah kami selesai dengan Ombak Banyu, Kakak meminta kami semua menaiki wahana Bianglala. Saya melihat Bianglala ini besar sekali dengan lampu berkelip. Ah, saya pasti suka dengan permainan yang satu ini. Saya suka membayangkan sensasi di atas sana untuk melihat pemandangan desa dari atas. Itu pasti akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Kami bertiga mulai menaiki anting-anting Bianglala ini dan tak berapa lama kemudian Bianglala bergerak ke atas. Sensasi yang aneh terasa di perut. Sebagai seorang bocah ingusan yang baru pertama kali di bawa melambung tinggi, saya cukup ketakutan saat anting Bianglala kami bergerak ke atas. Jantung saya mungkin tertinggal di bawah saking cepatnya jantung itu berdegup sehingga saya tak mampu untuk merasakannya. Dan tanpa disengaja, air mata saya memuncak keluar. Saya mendadak jadi histeris karena tak dapat merasakan jantung saya berada di tempatnya. Seketika saya berubah menjadi gadis kecil bodoh yang punya keinginan untuk memandang dari atas namun terlalu takut untuk mencapai puncak. Ya, saya secengeng itu.

Selama kami berada di atas, perasaan saya tak karuan. Rasanya sakit sekali jantung berdegup terlalu kencang sampai-sampai saya tak dapat merasakan jantung saya sendiri. Kaki saya bergetar, tangan saya bergetar. Saya takut sekali. Saya takut tak bisa berada di bawah, saya takut jatuh terjun bebas ke bawah, saya takut berada di ketinggian seperti ini yang membuat jantung berdegup kencang.

Rasanya lama sekali kami di atas sana dan Bianglala berputar lambat. Saya hanya bisa menutup mata dan menangis ketakutan. Ibu dan Kakak saya tentu saja panik melihat saya ketakutan.

Hingga anting Bianglala kami sampai di bawah kemudian petugas membukakan pintunya. Saya langsung berlari keluar dengan perasaan tak karuan sekaligus lega karena saya berada di atas tanah lagi sambil menghapus air mata pengecut ini.

Malam itu saya memutuskan untuk ikut Ibu jalan-jalan sekitar Pasar Malam saja tanpa menaiki wahana apapun lagi. Sementara Kakak laki-laki saya yang berani menaiki hampir semua wahana. Sayangnya, saya tak seberani dia. Saya terlalu takut terjatuh atau merasakan hal-hal aneh nantinya saat menaiki wahana-wahana lain.

Itulah pertama kalinya—seingat saya—saya menaiki wahana korsel permainan di Pasar Malam dan acara-acara serupa yang diadakan. Itulah mengapa saya tak pernah punya keinginan untuk main ke Dunia Fantasi (Dufan) di Ancol Jakarta, atau main ke Trans Studio Bandung. 2 tempat tersebut memiliki wahana-wahana permainan yang menyenangkan namun saya masih terlalu takut meski usia sudah menuju 23 tahun.





to be continued



(nrlhdyn - 06/02/2018)

You May Also Like

0 komentar