Memeluk Luka
Terkadang, kita tetap memeluk luka bukan karena kita memilih untuk bertahan pada satu pilihan yang menyakiti diri sendiri. Melainkan karena kita tahu luka adalah hal yang membuat diri kita semakin kuat. Seolah sebuah luka yang seharusnya kita hapus justru sebenar-benarnya pengingat bahwa kita mampu melewati fase ini dengan baik meski terdapat luka-luka di sana.
—
(Source: Pinterest) |
Saya pernah memeluk luka. Saya merasa terinjak-injak. Saya merasa tak berarti juga bodoh dan kejam pada diri sendiri karena membiarkan luka menyelimuti diri dengan duka. Tak jarang saya membiarkan duka menguasai diri, sebab tak tahu harus berbuat apa.
Hingga tetesan hujan malam itu menyadarkan tentang suatu hal; bahwa luka mampu menjadi pengingat batapa kuatnya saya mampu berlari dengan duka, betapa tegarnya hati untuk menanggung duka.
Dingin dan tercekik adalah permulaan. Hingga semuanya hanya terasa hangat di pelupuk mata. Tak ada lagi dingin. Tak ada lagi nyeri. Hanya hangat di pelupuk mata. Saya hanya mampu memeluk luka dengan hangat di pelupuk mata. Dan dalam sekejap mata, saya teringat akan luka-luka lama yang saya peluk yang kini menjadikan saya cukup kuat untuk berdiri—bahkan berlari.
Manusia tak pernah selamanya mampu untuk bertahan. Saya tahu. Akan ada fase saat saya terlalu lelah memeluk luka. Akan ada fase untuk saya berlari tanpa duka. Hanya saja, saya hanya harus bersabar. Bersabar lebih lama. Bersabar lebih ikhlas. Hanya itu.
—
(nrlhdyn — 14/03/2018 8:04 PM)
1 komentar
Memeluk luka atau melunak pada luka emang tergantung perspektif masing-masing yah. Kalo ngga open minded bisa dianggap luka itu menyakiti, tp kalo positif think malah jadi yang menguatkan.
BalasHapusCHEERSSS SESAMA PEREMPUAN!:)