Harapan Adalah Mata Pisau
Seberapa sering kamu kecewa padanya yang tak mampu menjaga kehadirannya di depan matamu? Seberapa sering kamu kecewa padanya yang tak mampu menangkapmu dengan baik saat kamu jatuh cinta? Seberapa sering kamu kecewa padanya yang tak mampu mengertimu dengan baik?
Aku cukup sering mengalaminya.
Kekecewaan datang seiring dengan harapan, kamu tahu? Besarnya kekecewaan akan berbanding lurus dengan harapan yang kamu gantungkan. Maka jika kamu berharap, beranilah untuk merasa kecewa jika kelak kekecewaan datang menghampirimu.
Aku adalah manusia yang dengan mudahnya merasa kecewa. Ya, aku mudah untuk menggantungkan harapan pada seseorang. Nyatanya tidak semua harapan yang kugantungkan berakhir manis, banyak dari mereka yang berujung kekecewaan.
Seperti saat ini.
Saat kekecewaan menjumpaiku, aku kerap menyalahkannya—orang yang kupercayai menyimpan harapanku—walau tak jarang logikaku melawannya dan berkata, "Kau berharap terlalu besar! Terlalu banyak!" dan semua itu akan berakhir dengan kesendirian yang terus menemaniku.
Aku tahu, harapan mampu membuat seseorang tetap bertahan untuk melanjutkan hidupnya, namun, bagaimana bila justru harapannya itu sendiri lah yang perlahan-lahan membuat dirinya kelelahan melangkah dan mati terlantar? Aku tak tahu, aku tak punya jawabannya. Namun yang aku tahu, terkadang harapan mampu membunuh seseorang. Harapan membunuhnya dengan pisau kekecewaan.
Itulah yang terkadang terjadi padaku.
Mungkin yang pantas disalahkan saat harapan membunuhmu adalah dirimu sendiri—hatimu. Jika hatimu terluka karenanya, mungkin bukan dia yang salah, namun dirimu. Dirimu yang terlalu berani untuk menggantungkan harapan setinggi langit padanya, hingga dirinya mampu mengambil alih sumber kebahagiaanmu dan membuatmu terluka.
Setidaknya kamu bukanlah satu-satunya orang di dunia ini yang kerap merasa kecewa. Aku sering mengalaminya. Dan entah bagaimana kekecewaan yang kujumpai terkadang membuatku semakin meyakini sesuatu; mana hal yang baik untukku sehingga harus kupertahankan dan mana hal yang tidak baik untukku sehingga harus aku tinggalkan.
Namun, kini berbeda. Aku tak merasa begitu. Aku merasa masih harus berusaha keras untuk mengubur—menutupi—rasa kecewa yang kurasakan. And I'm still working on it.
Jika mungkin ternyata selama ini kamu menggantungkan harapanmu pada orang yang salah, apa yang akan kamu lakukan? Membuang harapanmu? Menggantungkan harapanmu di tempat lain? Atau justru kamu akan melarikan diri dan tidak peduli pada harapanmu—dan dia yang kamu gantungkan harapan padanya?
Jika kamu pikir hanya dirimu yang kecewa dan merasa tak dimengerti akan harapan-harapanmu, well, selamat, kamu tidak sendiri.
Jika kamu pikir hanya dirimu yang menelan kekecewaan bulat-bulat, well, selamat, kamu tidak sendiri.
Jika kamu pikir hanya dirimu yang terluka bahkan tertusuk oleh mata pisau kekecewaan, well, selamat, kamu tidak sendiri.
Ada aku yang telah menelan pil pahit kekecewaan dan masih berusaha untuk terlihat wow-aku-baik-baik-saja-dan-merasa-sangat-oke.
Masih ada selimut yang mampu menguburku di ranjang dan menghangatkanku di dalamnya.
Selamat menikmati harapanmu!
0 komentar